Semalam saya iseng-iseng cari berita soal iklan Sekolah Gratis yang demikian gembar-gembornya di tv akhir-akhir ini. Niat hati hendak mencari pembenaran atas kecurigaan saya bahwa iklan ini tak lain dan tak bukan adalah iklan kampanye SBY sebagai persiapan pilpres.
Sebuah link KASKUS menarik perhatian saya, taglinenya “iklan SEKOLAH GRATIS melukai hati bangsa indONEsia tercinta”. Tertarik saya kemudian pun membukanya, berharap ini sebuah diskusi tentang penghambur-hamburan uang negara untuk belanja iklan politik yang tidak perlu.
Tapi apa yang terjadi, saya terkejut setengah mati. Ternyata forum tersebut isinya hanya kampanye rasis yang menusuk hati. Apa pasal? Ternyata iklan tersebut dituding melukai hati bangsa Indonesia hanya karena pemerannya menggunakan dialek Melayu yang dituding oleh si pembuat post sebagai bahasa Malaysia sehingga tidak pantas kiranya hadir di ruang-ruang publik dan ruang-ruang keluarga bangsa Indonesia.
Sekonyong-konyong pikiran saya melayang ke pesisir timur Sumatera. Lamunan saya menyapu pesisir timur Nanggroe Aceh Darusalam, pesisir timur Sumatera Utara, Riau Daratan dan Kepulauan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur dan akhirnya berakhir di kampung halaman saya di Sumatera Barat.
Saya bayangkan betapa pedihnya hati orang-orang di daerah-daerah tersebut, mereka seolah dipaksa murtad dari NKRI (istilah negara indonesia yang disakralkan) hanya karena berbicara dengan bahasa dan dialek yang diturunkan oleh ibu bapak mereka dan telah digunakan ratusan tahun di daerah mereka, jauh sebelum Belanda dan Inggris datang mengkapling-kapling ranah Melayu.
Saya bayangkan betapa teriris-irisnya perasaan mereka andaikata mereka membaca postingan KASKUS itu yang dibagian bawahnya masih ditambahi kalimat arogan “
gua bukan orang Melayu dan belum nonton Laskar Pelangi, jadi tolong dimaklumi”.
Saya berharap pikiran si owner postingan KASKUS tersebut tidak mewakili pikiran sebagian besar bangsa Indonesia.
Meski saya bukan orang Melayu namun saya masih merasa bersaudara dan serumpun dengan mereka dalam hal bahasa dan adat. Dan soal Malaysia, maafkan saya jika tidak bisa membenci mereka, karena kami orang Minang juga punya satu negara bagian disana (Negeri Sembilan), satu dari 11 anggota Federasi Malaysia.
Pikiran saya kembali melayang ke 5 tahun silam, ke sebuah kota bernama Yogyakarta. Ada sebuah radio bernama Retjo Buntung, dengan sebuah acara bernama Dendang Melayu. Disana saya dengarkan lagu-lagu dari belasan corak dialek puak melayu se Nusantara. Acara dibawakan oleh penyiar orang Jawa tulen yang dengan setengah dipaksakan mencoba-coba berdialek Melayu.
Betapa indahnya …
0 komentar:
Posting Komentar